Semacam semangat dari CD Hiphopdiningrat

Posted on May 4, 2012

0


Dimulai dari keisengan saya, karena sudah berakhirnya masa bakti saya kepada deadline pekerjaan di bulan November serta berlandaskan rasa penasaran yang cukup berdedikasi kepada sebuah paguyuban yang diberi nama Jogja Hip Hop Foundation. Maka kali ini saya akan sedikit menuliskan kesan saya kepada dua buah karya dari 12 tembang yang terdapat dalam album Hiphopdiningrat.

Secara pribadi, saya sudah mendengar nama ini sejak akhir tahun 2010. Jelas saja hal itu datang dari sebuah album kompilasi JOGJA ISTIMEWA. Dari sekian nama yang tercantum dialbum tersebut, ada satu nama yang menggelitik rasa keingintahuan saya. Apalagi ditambah pose 8 orang disebuah mobil VW Combi yang bisa dikategorikan ‘tengil’. Dan dicredit lagu tersebut tertulis: Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation) lagu: ‘Jogja Istimewa’.

Meskipun terlambat, tapi saya cukup bangga ketika mengetahui bahwa Ki Jarot itu adalah sebuah akronim. Kill the DJ, Jahanam & Rotra = Ki Jarot. Haha! Jika ingin mencari tahu tentang Jogja Hiphop Foundation silahkan saja berkunjung ke web mereka http://www.hiphopdiningrat.com/about/the-foundation/?lang=id

Secara personal, ketika pertama kali mendengarkan lagu ini, saya sudah mengantisipasi pendapat miring mengenai liriknya yang terkesan mengelu-elukan kota penghasil sosok yang kerap saya jadikan panutan. Namun jika anda memiliki cukup bekal dalam bahasa jawa, sebenarnya pesan dalam lirik lagu tersebut sama sekali tidak bersifat membanggakan diri. Tapi karena faktor bahasa dan refrain (hook) lagu tersebut yang tersdengar sangat lantang, lagu tersebut bisa menimbulkan kesan chauvinis.

Dengan bekal literasi yang terbatas dan bahasa jawa yang masih sangat amburadul, saya pernah mencoba menerjemahkan lirik ‘Jogja Istimewa’. Hasilnya? Penjelasan aneh yang saya dapatkan! Tapi untung saja Marzuki Mohammad berbaik hati untuk membedah isi dari lagu tersebut, sehingga saya tidak berurusan lebih intim dengan proses semiotika.

Berikut ini adalah substansi dari lagu ‘Jogja Istimewa’ yang mungkin saja sempat anda dengar beberapa kali entah dimana (atau bahkan anda juga melihat 5 orang pemuda & 1 pemudi berkemeja batik dengan dandanan musisi hiphop pelosok bronx, yang pernah tampil di acara TV benama inbox)

http://killtheblog.com/2011/01/05/membedah-lirik-jogja-istimewa/#comment-280

Jika rasa penasaran anda sebesar yang saya punya, maka (idealnya) setelah mendengarkan album kompilasi Jogja Istimewa anda akan mencari tahu satu persatu mengenai seniman-seniman yang terdapat disana. Meskipun sebenarnya, kata “rasa penasaran” itu adalah alibi dari kegiatan menganggur. Singkat cerita, saya putuskan untuk menghabiskan waktu saya pada  situs Hiphopdiningrat.com sampai akhirnya saya putuskan untuk memesan Cakram Padat Soundtrack Hiphopdiningrat.

Cakram padat yang dibanderol dengan harga 35 ribu rupiah ini terdiri dari 11 lagu dan 1 bonus lagu yang merupakan original soundtrack dari film dokumenter Hiphopdiningrat, sebuah film yang disutradarai oleh Marzuki Mohammad dan Chandra Hutagaol. Terlepas dari kondisi bahwa film ini yang cukup ramai menjadi bahan perbincangan di pertengahan tahun 2011, original soundtracknya sendiri ternyata lebih ramai lagi.

Berikut adalah list lagunya:

1. Rotra feat. Kill The DJ – Jula Juli Lolipop (a poetry of Sindhunata)

2. Jahanam feat. KIll The DJ – Rep Kedhep (a poetry of Sindhunata)

3. Kontra – Untuk Melika Hamaudy (a poetry of Acep Zam Zam Noor)

4. Rotra – Ora Cucul Ora Ngebul (a poetry of Sindhunata)

5. Kill The Dj feat. Soimah Pancawati – Asmaradhana 388 Serat Centhini

6. Gatholoco – Catatan Ganti Tahun Antara Natal, Lebaran, dan Tahun Baru (a poetry of Hersri Setiawan)

7. Jahanam feat. Kill The DJ – Cintamu Sepahit Topi Miring (a poetry of Sindhunata)

8. Dubyouth – Panggung Kami (a poetry of Widji Tukul)

9. Kill The DJ feat. Silir Pujiwati – Sinom 231 Serat Centhini

10. Ki Jarot feat. Soimah Pancawati – Gurindam 12 (a poetry of Raja Ali Haji)

11. Jahanam feat. Rotra – Gangsta Gapi

12. Ki Jarot – Jogja Istimewa (Bonus Track)

Dari duabelas lagu yang terdapat dalam 1 buah cakram padat ini, ada beberapa lagu yang saya favoritkan. Antara lain adalah ‘Ora Cucul Ora Ngebul (a poetry of Sindhunata)’, ‘Gangsta Gapi’, ‘Catatan Ganti Tahun Antara Natal, Lebaran, dan Tahun Baru (a poetry of Hersri Setiawan)’, ‘Asmaradhana 388 Serat Centhini’, ‘Rep Kedhep (a poetry of Sindhunata)’. Meskipun hampir semua lagu menggunakan bahasa jawa dan sudah pasti membutuhkan usaha lebih menerjemahkannya, tapi saya jamin usaha anda akan terbayar lunas! Dengan satu syarat: Anda adalah figur yang menaruh perhatian terhadap hal-hal sub kultur.

Dan ini adalah hasil dari usaha saya untuk menerjemahkan lagu yang berjudul ‘Jula-Juli Lolipop’ yang dilantunkan oleh Rotra feat. Kill the DJ dan memberi tahu isi tentang ‘Panggung kami’ yang didentangkan oleh Dubyouth. Motivasi saya untuk membagikan pemahaman saya terhadap kedua lagu tersebut sebenarnya sangatlah subjektif, lagu tersebut adalah lagu yang paling meninggalkan kesan ketika pertama kali saya dengar di CD player. Bahkan saya sampai ikhlas mengulangnya demi menghafal liriknya. Tapi yang pasti kedua lagu tersebut sifatnya cukup subversif dan saya pribadi menyukai hal-hal kontra kultur, seperti itulah sifat dari dua lagu berikut.

Secara garis besar, lagu ‘Jula-Juli Lolipop’ bercerita tentang kondisi seni yang berhadapan dengan industri. Dan berpangkal pada bisnis. Situasi seperti ini sering dirangkum dengan tokoh Idealisme & realistis. Sedangkan lagu ‘Panggung Kami’ merupakan hasil penggabungan dari 2 buah karya Wiji Thukul yang berjudul ‘Gumam Sehari-hari’ dan ‘Batas Panggung’, dua buah puisi yang sangat berani untuk ditujukan pada rezim orde baru.

Rotra feat. Kill the DJ  ‘JULA-JULI LOLIPOP’

Ngemut permen, permen lollipop (ngemut permen, permen lollipop)

Bunder tur gepeng ,rasane legi (bulat dan gepeng, rasanya manis)

Kepengen beken, pengen dadi ngetop (mau jadi beken, mau ngetop)

Karyane laris tur senine mati (karyanya laris dan seninya mati)

Jaman saiki kabeh do blereng matane (jaman sekarang semua orang matanya sudah buram)

Podo nuruti pasar opo pesenane (pada mengikuti pasar, apa pesanannya)

Ngene wis dadi cara golek pangane (hal seperti ini sudah jadi caranya mencari makan)

Seni ra penting sing penting entuk duite (seni tidak penting, yang penting dapat uang)

Inspirasine wis ilang dipendhem mati (inspirasinya sudah mati dikubur)

Rasa solidaritas e wis podo lali (sudah melupakan rasa solidaritas)

Karya seni kontemporer jaman saiki (karya seni kontemporer jaman sekarang)

Mung koyo emut-emutan ning ilat krasa legi (cuma seperti permen yang terasa manis dilidah)

Sing dituju nilai rupiah lan dolare (yang dituju nilai rupiah dan dolar)

Golek cara ben payu laris dagangane (cari cara agar laris dagangannya)

Karya senine lali nggambarke rakyate (karya seni lupa menceritakan rakyatnya)

Rakyat sing urip sengsara apes nasibe (rakyat yang hidup sengsara, sial nasibnya)

Ngemut permen, permen lollipop (ngemut permen, permen lollipop)

Bunder tur gepeng ,rasane legi (bulat dan gepeng, rasanya manis)

Kepengen beken, pengen dadi ngetop (mau beken, mau ngetop)

Karyane laris tur senine mati (karyanya laris dan seninya mati)

Ana kancaku sing kepengen dadi artis (ada temanku yang berkeinginan jadi artis)

Pancen dasar bocah e senengane narsis (memang dasar anaknya itu narsis)

Banjur tingkah polah e mung sing manis-manis (dan lagi tingkahnya cuma yang baik-baik)

Malah koyo permen rasane kringis-kringis (malah seperti permen)

Nek tak pikir-pikir kok koyo tukang kayu (kalau saya pikir-pikir kok seperti tukang kayu)

Mung waton ngemali apa-apa sing payu (hanya mengukur sesuatu yang laku)

Seni saiki nurut i pasar sing mlaku (seni sekarang mengikuti pasar yang berjalan)

Dadi bakulan asal tau sama tau (jadi jualan asal tahu  sama tahu)

Saya suwe dodolan e kok saya payu (lama-lama jualannya kok semakin laku)

Tambah sugih wong e urip e tambah maju (orangnya semakin kaya, hidupnya semakin maju)

Omah e dadi gedhong dicet werna biru (rumahnya jadi besar dicat warna biru)

Gedhe magrong-magrong kamar e ana pitu.. eh, wolu! (terkesan mewah dan kamarnya ada tujuh, eh delapan)

Ngemut permen, permen lollipop (ngemut permen, permen lollipop)

Bunder tur gepeng ,rasane legi (bulat dan gepeng, rasanya manis)

Kepengen beken, pengen dadi ngetop (mau beken, mau ngetop)

Karyane laris tur senine mati (karyanya laris dan seninya mati)

Jaman mbiyen iseh ngonthel numpak pit onta  (jaman dahulu, masih naik sepeda)

Saiki wis numpak mobil gedhe tur dawa (sekarang sudah naik mobil besar dan panjang)

Tuku apa-apa ra perlu ndelok rega (beli apa-apa gak perlu liat harga)

Padahal ndisek sering njaluk aku sega (padahal dulu sering minta nasi ke saya)

Jaman semana iseh ramah karo aku (waktu itu masih ramah sama saya)

Kok saiki sikap e malih dadi kaku (kok sekarang sikpanya malah jadi kaku)

Ganti hape nganggo hape tipe terbaru (ganti hape pakai yang tipe terbaru)

Seneng mung blanja ro mlaku-mlaku.. asu! (cuma belanja dan jalan-jalan. anjing!)

Omah e rame diparani bos kagol (rumahnya ramai didatangai bos nanggung)

Takon apa ana karya sing siap didol (bertanya apa ada karya yang siap dijual)

Karya seni koyo dagangan jenang dodol (karya seni kok seperti jualan dodol)

Seni kok saya mawut wis modhol-modhol (seni kok semakin lama semakin berantakan)

Ngemut permen, permen lollipop (ngemut permen, permen lollipop)

Bunder tur gepeng ,rasane legi (bulat dan gepeng, rasanya manis)

Kepengen beken, pengen dadi ngetop (mau beken, mau ngetop)

Karyane laris tur senine mati (karyanya laris dan seninya mati)

Dubyouth – Pangung Kami

Di ujung sana ada pabrik roti

kami beli yang remah-remah

karena murah

Di ujung sana ada tempat penyembelihan sapi

dan kami kebagian bau

kotoran air selokan dan tai

Di ujung sana ada perusahaan daging abon

setiap pagi kami beli kuahnya

dimasak campur sayur 

Di pinggir jalan

berdiri toko-toko baru

dan macam-macam bangunan

Kampung kami di belakangnya

riuh dan berjubel,seperti kutu kere kumal

terus berbiak! Membengkak ,tak tercegah!

Ini adalah daerah kekuasaan kami

Jangan lewati batas ini

Jangan campuri apa yang terjadi di sini

Karena kalian penonton, kalian adalah orang luar

Jangan rubah cerita yang telah kami susun

Jangan belokkan jalan cerita yang telah kami rencanakan

Karena kalian adalah penonton

Kalian adalah orang luar

Kalian harus diam 

Panggung seluas ini hanya untuk kami

Karena kalian adalah penonton, kalian harus diam

——-

Saya ingin sedikit bercerita dan berterimakasih kepada @rambo_hcpc  a.k.a Aditya Rahma (drummer Hocuz Pocuz) yang secara tidak langsung sudah mengembalikan keinginan saya untuk menuliskan sesuatu. Lewat tweetnya tanggal 15 November dia menulis seperti ini: “@agungboy alhamdulillah..hope the best for the new career lo sam..tp msh sempet mncurahkan hasrat di blog nya kan??”  bagi saya tulisan itu adalah sebuah proses dalam memenuhi rasa keingintahuan.

Tweet tersebut menyangkut kepindahan saya ketempat kerja yang baru. Sebuah majalah pria dewasa buatan Indonesia, Popular. Ada yang pernah dengar namanya? Ya betul, majalah ini tidak jarang membuat pria penasaran (kata PENASARAN ini, mau sertakan tanda kutip maupun tidak. Itu terserah)

Kalau ditinjau dari esensi ceritanya, hal ini tidak begitu menarik untuk diperhatikan. Karena perpindahan itu sudah dilakukan sejak jaman prasejarah, atau yang lebih kita kenal dengan nomaden. Atau para seniman yang mendambakan hidup sebagai bohemian. Bahkan saya pernah sekilas membaca buku yang berjudul ‘Gelandangan’, disana juga terlukiskan bahwa konsep gelandangan itu sudah terdapat dari era raja-raja di nusantara.

Dalam dunia pekerjaan, perpindahan itu biasanya diikuti dengan kata-kata “ingin mengembangkan karir” di dalam surat pengunduran diri (meskipun tidak sedikit motif sebenarnya adalah memperbaiki kondisi finansial atau terlibat masalah dengan kolega). Dan alasan “ingin mengembangkan karir” itulah yang saya tulis dalam surat pengunduran diri saya, tanpa terlibat masalah dengan kolega dan sedikit orientasi kepada “root of all evil today”. Dan sebagai pelengkap cerita yang tidak penting ini, maka saya uangkapkan alasan saya sesungguhnya pindah ke majalah yang sama sekali bukan bidang (baca: minat) saya.

Sebenarnya ada dua alasan personal, kenapa saya memutuskan pindah kebidang yang tidak saya kuasai:

Saya ingin mempunyai ruang yang khusus untuk bekerja. Dan lokasi  yang ideal (menurut saya) adalah kantor. Sebab ditempat kerja saya yang lama, tidak ada yang namanya tempat kerja. Tempat kerjanya adalah kamar pribadi saya. Jujur, saya tidak suka sebuah hal yang kehilangan esensinya. Rumah, terlebih kamar pribadi, bagi saya adalah sesuatu yang sangat personal menurut saya. Dan segala hal yang sifatnya personal apabila dicampuradukkan dengan sesuatu yang sifatnya tidak personal (baca: professional) dipastikan akan menciptakan kondisi yang sama sekali tidak nyaman.

Saya menghindari melakukan sesuatu yang paradoks. Secara pemahaman singkat, paradoks adalah sebuah pernyataan atau tindakan yang menuju ke sebuah kontradiksi atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi. Sedikit bercerita, ditempat kerja saya yang lama saya banyak belajar hal-hal yang berkaitan dengan musik, katakanlah itu mayor maupun minor. Singkat ceritanya saya cinta musik dengan sepenuh hati! Dengan jujur, saya sangat bersyukur serta tidak lupa mengucapkan terimakasih atas kesempatan tersebut di surat pengunduran diri yang saya buat. Namun salah satu konsekuensi sebagai (katakanlah) wartawan musik adalah memperhatikan kondisi tren musik. Kalau sekedar untuk mengamati sebuah tren, saya tidak perlu sebuah komando. Sedikit banyak, saya mengerti tren musik yang sedang berlangsung dibumi pertiwi ini. Tapi untuk mendukung keberlangsungan tren yang tidak penting untuk mendapat perhatian? Disitulah letak persoalannya. Apalagi yang menjadi tren dalam musik itu hanya berorientasi untuk memproduksi sensasi. Inilah yang saya maksud sebagai paradoks.

“Iron Maiden – The Evil That Men Do” lagu ini jadi soundtrack kalau pulang kerja dan menembus macet 🙂

——-

Agung Rahmadsyah

Bekasi

26 November 2011

Posted in: Uncategorized